Pada awalnya, "palidangan" merupakan bagian tengah rumah tradisional banjar di kalimantan selatan; sebuah ruang tempat berkumpul dan bercengkerama sebuah keluarga. Akan tetapi, di sini aku memaknainya sebagai ajang penampung gagasan dan tempatku melayarkan Tomasina. Ada cerita-cerita pendek dalam bahasa Banjar. Sila disimak..., Coy!!
Saturday, May 29, 2021
Wednesday, May 26, 2021
Friday, May 21, 2021
Saturday, May 15, 2021
Saturday, May 8, 2021
HIJAZ YAMANI:
BAPAK PENYAIR KALIMANTAN SELATAN
Oleh : Jamal T. Suryanata
/ 1 /
Pertama-tama harus saya sampaikan bahwa pokok masalah
yang akan saya kemukakan dalam kesempatan ini mungkin sedikit menyimpang dari
topik yang diminta oleh panitia, yaitu mengulas karya-karya puisi Hijaz Yamani yang
bermuatan religius. Penyimpangan ini sengaja saya lakukan untuk memberikan
nuansa lain agar perbincangan kita menjadi lebih berwarna dan tidak mengerucut
ke satu perspektif saja.
Selain itu, saya juga sengaja
menggunakan judul di atas karena seputar pokok masalah itulah yang ingin saya
sampaikan dalam perbincangan singkat ini. Namun, dengan judul tersebut tentu
bukan maksud saya untuk secara latah melontarkan gagasan tentang perlunya kita
(baca: para penyair Kalsel) memiliki satu hari puisi tersendiri, lalu secara beramai-ramai
mendeklarasikan lahirnya Hari Puisi Kalimantan Selatan, misalnya, sebagaimana
halnya kehadiran Hari Puisi Indonesia (HPI) yang ditetapkan berdasarkan hari
kelahiran Chairil Anwar sebagai wujud kecintaan dan penghargaan atas segala
dedikasi, totalitas, dan kepeloporannya dalam perkembangan bahasa dan sastra
Indonesia, khasnya dalam bidang perpuisian.
Akan tetapi, tanpa harus heboh mendeklarasikan
hari peringatan tertentu, mengenang kepeloporan dan menghargai jasa-jasa seseorang
yang dinilai telah berkontribusi besar dalam bidang tertentu adalah hal yang
wajar dan sewajarnya. Namun, dalam hal ini tentu dibutuhkan komitmen kita
bersama.
/ 2 /
Dalam buku bertajuk Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan (2001), Jarkasi dan Tajuddin
Noor Ganie mencatat bahwa Haji Hijaz Yamani (selanjutnya saya sebut Hijaz
Yamani saja) termasuk sastrawan Kalimantan Selatan (Kalsel) generasi penerus
zaman Orde Lama 1950-1959. Hijaz Yamani dilahirkan di Banjarmasin pada 23 Maret
1933 dan meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin dalam usia 68 tahun,
tepatnya pada hari Senin, 17 Desember 2001 (bertepatan pada hari kedua Idul
Fitri, 2 Syawal 1422 H).
Menurut catatan Micky Hidayat dalam
Leksikon Penyair Kalimantan Selatan
(2020), Hijaz Yamani sudah mulai menulis puisi sejak tahun 1954 dan terus
berkarya hingga akhir hayatnya, sekalipun tidak lagi seproduktif pada masa-masa
awal kepenyairannya. Kecuali genre puisi, ia juga menulis cerpen, kritik dan
esai sastra, naskah drama, serta artikel seni budaya atau dengan beragam topik
lainnya. Sejak awal 1950-an, karya-karyanya telah menghiasi banyak media cetak
nasional maupun regional bergensi yang juga menjadi media publikasi karya-karya
sastrawan terkemuka Indonesia lainnya pada masa itu—semisal: Budaja, Roman, Konfrontasi, Tjerita, Siasat,
Mimbar Indonesia, Budaja Djaja, Horison, Bahana (Brunei Darussalam), dan
beberapa media lainnya. Selain itu, ia pun sering terlibat aktif dalam berbagai
even sastra-budaya berskala nasional dan regional, baik diundang sebagai
peserta maupun narasumber.
Karya-karya puisi Hijaz Yamani juga
dimuat dalam sejumlah buku antologi puisi bersama, baik dengan penerbitan
berskala lokal, nasional, maupun internasional. Namun, dari dua puluhan lebih
antologi puisi bersama yang memuat sajak-sajaknya, agaknya buku bertajuk Tanah Huma (1978) yang ditulisnya
bersama D. Zauhiddie dan Yustan Aziddin merupakan karya yang paling fenomenal
pada masanya. Sebab, pada masa itu tidak mudah bagi seorang sastrawan (penyair)
untuk menerbitkan sebuah buku, apalagi diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka
Jaya—sebuah penerbit besar yang sejak tahun 1960-an sangat berpengaruh dalam
perkembangan sastra di tanah air.
Di samping Balai Pustaka, dari
rahim penerbit inilah bermunculan karya-karya terbaik para sastrawan tersohor
Indonesia yang hingga sekarang buku-buku mereka masih dipandang berwibawa. Dan,
secara tidak langsung, penerbit ini pula yang telah berjasa besar mengangkat
popularitas sederet sastrawan terkemuka Indonesia—semisal: Ajip Rosidi, Aoh K.
Hadimadja, Hartojo Andangdjaja, Ramadan K.H., Wing Kardjo, Toto Sudarto
Bachtiar, Subagio Sastrowardojo, W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko
Damono, Abdul Hadi WM, Toeti Heraty, dan sederet nama lainnya.
Dalam konteks kesusastraan di Kalimantan,
kedudukan Tanah Huma serupa dengan kehadiran
Tiga Menguak Takdir (1950) yang
ditulis oleh Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Sungguhpun tidak
membawa pengaruh besar terhadap perkembangan estetika perpuisian di Indonesia,
tetapi kelahiran Tanah Huma telah
menguak kesunyian suara sastrawan dari tanah Kalimantan yang mampu menyeruak ke
tengah-tengah gelanggang sastra nasional. Setidaknya, ia hadir sebagai penanda
bahwa penyair Kalimantan itu ada dan berhak diakui sebagai anak sah dalam
keluarga besar sastra Indonesia.
Buku kecil ini hanya berisi 45
puisi, dengan perincian: 15 puisi karya D. Zauhiddie, 15 puisi Yustan Aziddin,
dan 15 puisi Hijaz Yamani. Karya-karya Hijaz Yamani sendiri yang dimuat dalam
buku ini agaknya mewakili sajak-sajak lainnya yang ditulisnya dalam kisaran
waktu 1957-1975, bahkan boleh jadi merepresentasikan estetika perpuisiannya
sepanjang dasawarsa 1950-an hingga 1970-an. Ditilik dari sudut faset
tematisnya, kelima belas sajak Hijaz Yamani yang dimuat dalam buku ini mengangkat
tema yang relatif beragam. Akan tetapi, secara umum, kelima belas sajak ini secara
sublim merefleksikan perjalanan hidup sang penyair sendiri dan sekaligus
merupakan tanggapan kritisnya yang samar terhadap lingkungan sosiokulturalnya.
Sayangnya, meskipun Hijaz Yamani
sudah menulis puisi sejak awal 1950-an, tetapi hingga pertengahan 1990-an ia
tidak berkesempatan untuk menerbitkan karya-karya puisi yang pernah ditulisnya
dalam kurun waktu yang cukup lama itu (lebih 40 tahunan, 1954-1996), dalam
sebuah antologi puisi tunggal. Sejauh yang saya ketahui, buku puisi tunggalnya yang
pertama baru terbit menjelang akhir dekade 90-an dengan judul Percakapan Malam (1997). Inilah
satu-satunya kumpulan puisi tunggalnya yang berhasil diterbitkan dalam bentuk
buku selama masa kepenyairannya yang cukup panjang itu. Bahkan, buku ini pun hanya
memuat 54 puisi pilihannya yang ditulis sepanjang kurun waktu 1970-1995. Jadi, dan
saya sangat meyakini, tentu masih ada sejumlah karya puisi Hijaz Yamani lainnya
yang belum disertakan dalam buku ini, demikian pula dalam Tanah Huma maupun puluhan antologi puisi bersama lainnya.
Pertanyaannya, apakah Hijaz Yamani memang tergolong penyair yang kurang
produktif ataukah karena sajak-sajaknya yang lain itu tidak terdokumentasikan
dengan baik?
Sementara itu, Malam Hujan (2012), buku kumpulan puisi tunggalnya yang kedua ini baru
diterbitkan sekitar 11 tahun sepeninggalnya. Buku ini memuat 129 puisi yang
ditulis Hijaz Yamani sejak tahun 1950-an hingga akhir 1990-an. Kumpulan puisi
ini terbagi dalam tiga bagian: Di Bawah Lampu
Mercuri (35 puisi), Kalau Kau Datang (46 puisi), dan Lanskap Sungai (48 puisi)—sebagian di antaranya juga termasuk karya-karya puisinya yang sudah diterbitkan
dalam Tanah Huma dan Percakapan
Malam. Dengan demikian, oleh editornya (Micky Hidayat),
sangat mungkin buku ini dimaksudkan sebagai koleksi lengkap puisi Hijaz Yamani
sepanjang masa kepenyairannya (1954-2000). Dan, sebagai sebuah koleksi lengkap,
tentu saja sajak-sajaknya yang terhimpun dalam buku ini menunjukkan faset
tematis yang sangat beragam.
Namun, sekali lagi dapat saya
katakan, secara umum persoalan yang mengemuka dalam seluruh puisi yang pernah
ditulis Hijaz Yamani tidak jauh beranjak dari dua tema besarnya: refleksi
kehidupan personal dan tanggapan kritisnya terhadap lingkungan
sosiokulturalnya. Akan tetapi, jika ingin kita rincikan lagi, dalam semua
sajaknya pastilah akan menyuarakan berbagai persoalan hidup manusia secara
universal: cinta, kerinduan, kegelisahan, kecemasan, kedamaian, persahabatan, religiusitas,
dan beragam bentuk kritik sosial yang umumnya diungkapkan secara sublim dengan
diksi-diksi dan metafor-metafornya yang lembut bersahaja. Barangkali,
karakteristik estetika perpuisiannya yang lembut bersahaja ini memang tidak
lepas dari sosok pribadi sang penyair sendiri.
/ 3 /
Selanjutnya, satu hal penting yang perlu kita catat
dalam perjalanan hidup dan karier kepenyairan Hijaz Yamani adalah dedikasi,
totalitas, dan kontinuitasnya dalam mengasuh sebuah acara siaran radio mingguan
bercorak sastra-budaya (lebih tepatnya: apresiasi puisi) bernama “Untaian
Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni” di RRI Nusantara III Banjarmasin (selanjutnya
saya sebut “Untaian Mutiara” saja).
Dalam kaitan ini, jika yang
dimaksudkan Micky Hidayat dalam catatannya di buku Leksikon Penyair Kalimantan Selatan bahwa sejak 1955-1961 dan 1970
hingga wafatnya (2001) itu menunjukkan masa keterlibatan Hijaz Yamani dalam
mengasuh acara tersebut, berarti masa pengabdian dan perjuangannya untuk
menyemai bakat-bakat kepenyairan serta menumbuhsuburkan tradisi penulisan puisi
di tanah Kalimantan ini tidak kurang dari 40 tahunan—satu kurun waktu yang
sangat panjang untuk ukuran sebuah mata acara (siaran radio) kesastraan dengan
pendanaan yang seadanya (sekadar catatan: honor pengasuh acara ini untuk sekali
siaran mungkin hanya cukup untuk sekadar ngopi
bareng dengan para pembaca puisi di warung kopi pinggiran jalan).
Padahal, untuk dapat menjaga konsistensi
dan kontinuitas siaran radio bertajuk Untaian Mutiara ini hingga mampu bertahan
selama 40 tahunan niscaya diperlukan keuletan, kesabaran, serta perjuangan dan
pengorbanan yang besar dari sang pengasuhnya. Sebab, setiap minggu sebelum
siaran berlangsung, Hijaz Yamani mesti dengan telaten membaca dan menyeleksi puluhan
atau mungkin ratusan karya puisi yang masuk ke meja sang pengasuh. Selain itu, setiap
minggu pula ia dengan telaten harus menyiapkan naskah sebagai bahan siaran
tersebut berupa ulasan kritis-apresiatif terhadap karya-karya puisi yang dikirimkan
oleh para penyair pemula dari berbagai daerah di Kalsel maupun dari luar daerah
(sebagai catatan lagi: sebelum akhir dekade 90-an, sebelum personal computer mewabah di daerah ini, naskah tersebut masih ditulis
dalam bentuk tik manual).
Naskah ulasan puisi itu sendiri
dibacakan Hijaz Yamani secara bebas (dengan tambahan-tambahan seperlunya secara
spontan) dan runtut sesuai dengan urutan puisi yang sebelumnya telah dibacakan
oleh sejumlah penyair muda dan deklamator Kalsel yang ikut terlibat mendukung suksesnya
siaran radio berdurasi sekitar satu jam ini. Para penyair muda maupun
deklamator yang pernah ikut terlibat sebagai pembaca puisi dalam siaran Untaian
Mutiara ini antara lain: Ismet M. Muning (asisten pengasuh), Noor Aini Cahya
Khairani, Y.S. Agus Suseno, Fajar Gemilang, M. Haderani Thalib, Fani Sastra, Tajuddin
Noor Ganie, Edy Wahyudin SP, Rusdi Aryadi Saleh, Abdus Syukur MH, Rina Noor
Maulida, dan beberapa nama lagi.
Secara historis, satu hal penting
lagi yang perlu kita catat bahwa dari siaran radio ini banyak sekali terlahir
penyair pemula yang kemudian berkembang menjadi penyair-penyair andal dan
diperhitungkan di jagat sastra nasional. Mereka tidak hanya berasal dari kota Banjarmasin
sendiri, melainkan juga dari kampung-kampung nun jauh di pelosok Kalsel, bahkan
dari beberapa daerah di luar Kalsel.
Paling tidak, para penyair terkemuka
Kalsel generasi 1970-an hingga 1990-an semisal Ajamuddin Tifani, Burhanuddin
Soebely, Ahmad Fahrawi, Micky Hidayat, Noor Aini Cahya Khairani, Y.S. Agus
Suseno, Maman S. Tawie, Tajuddin Noor Ganie, Tarman Effendi Tarsyad, M. Rifani
Djamhari, Ariffin Noor Hasby, Ali Syamsudin Arsi, Jamal T. Suryanata, Edy
Wahyudin SP, Rusdi Aryadi Saleh, Lilis MS, dan sederet lagi nama lainnya jelas
sangat berhutang ilmu dan bimbingan dari sang pengasuh acara Untaian Mutiara
ini. Hingga penghujung dasawarsa 90-an lalu, ketika televisi dan internet dengan
segala fasilitasnya itu belum mewabah di banua ini, seminggu sekali pada setiap
Senin malam mereka menunggu ulasan-ulasan kritis-apresiatif yang terlontar dari
bibir sang penyair seniornya itu. Setiap minggu sekali, entah sendiri di dalam
kamar atau bersama beberapa kawan “seiman”-nya, mereka setia menunggu duduk di
depan radio tersebab setiap kata-katanya seakan merupakan sabda yang wajib
didengar dan dipatuhi.
Lebih dari itu, antusisme para
penyair muda itu tampak semakin meningkat sejak akhir 1980-an karena saat itu semua
puisi yang masuk dalam siaran Untaian Mutiara ini diseleksi dan ditetapkan
sebagai puisi pilihan yang disiarkan pada setiap minggu pertama di awal bulan.
Bahkan, semua puisi pilihan awal bulan yang disiarkan di disepanjang tahun 1989
itu kemudian diseleksi lagi oleh tim khusus (terdiri dari Hijaz Yamani dan
Ajamuddin Tifani) untuk menetapkan tiga puisi terbaik. Dari hasil seleksi
akhir, terpilih sebagai Puisi Terbaik I adalah sebuah sajak bertajuk
“Mendengarkan Malam Berzikir” karya Y.S. Agus Suseno, Puisi Terbaik II bertajuk
“Episode Cakrawala” karya Noor Aini Cahya Khairani, dan Puisi Terbaik III dengan
judul “Isyarat” karya Murjani H.B. Selanjutnya, pada awal tahun berikutnya,
ketiga puisi tersebut diterbitkan bersama 31 puisi pilihan lainnya dalam sebuah
antologi bernama Mutiara 89 (1990).
Sepanjang dekade 90-an, pemilihan
puisi dan penerbitan buku inilah yang kemudian menjadi faktor pemicu bagi para
penyair muda Untaian Mutiara untuk terus berkarya dan melahirkan karya-karya
puisi terbaik mereka. Namun, sungguh disayangkan, sejak memasuki tahun 2000-an
tradisi baru yang sangat positif itu tidak bisa dipertahankan dan dilanjutkan.
Bahkan, sejak awal 2002 yang lalu sabda sang penyair senior sekaligus pengasuh siaran
Untaian Mutiara itu sudah tak pernah terdengar lagi. Suara lembut itu,
ulasan-ulasannya yang kritis-apresiatif itu, telah menghilang bersama
menghilangnya sang pengasuh siaran radio mingguan itu kembali ke pangkuan
Ilahi. Kini suara lembut kebapakan itu, kritik-kritik dan ulasan-ulasannya yang
sangat apresiatif itu, tinggal kenangan di benak para penyair yang pernah
merasakan sentuhan motivasi dan bimbingannya. Sepanjang masa hidupnya, dia
adalah sang petani yang telaten merawat dan memupuk tunas-tunas muda, dia
adalah sang pengayom para penyair pemula, dan dia adalah H.B. Jassin-nya sastra
di Kalsel. Dia adalah bapak kita semua.
Sepeninggalnya, sekalipun siaran
Untaian Mutiara tersebut sempat berlanjut di bawah asuhan Edy Wahyudin SP dan
kawan-kawan, tetapi secara faktual hanya mampu bertahan selama beberapa edisode
saja. Dalam kaitan ini, tentu banyak hal yang menjadi faktor penyebabnya,
tetapi tak dapat dipungkiri bahwa kepergian penyair Hijaz Yamani merupakan akar
masalahnya. Sebab, tidak semua orang memiliki dedikasi dan totalitas pengabdian
sebagaimana sosok Hijaz Yamani dalam merawat dan mempertahankan kelangsungan
hidup Untaian Mutiara itu.
Oleh karena itu, dengan
mempertimbangkan segala kebaikan, dedikasi, totalitas, perjuangan, pengorbanan,
dan kontribusinya yang sangat besar dalam mengasah mutiara-mutiara terpendam serta
menumbuhkembangkan tradisi penulisan puisi di banua ini, maka dalam kesempatan ini izinkan saya menyematkan
kata-kata penuh penghormatan ini kepadanya, “Hijaz Yamani, Bapak Penyair
Kalimantan Selatan.”
Pelaihari, 5 Mei 2021